Saturday 30 April 2016

DAMPAK PENGARUH DAN PEROBAHAN IKLIM TERHADAP TANAMAN(PERTANIAN)

           

                              
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang untuk suatu lokasi di bumi atau planet lain. Studi tentang iklim dipelajari dalam klimatologi. Iklim di suatu tempat di bumi dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi tempat tersebut.










  Dunia pertanian selama ini tidak bisa dipisahkan dengan cuaca dan iklim. Namun, akibat efek pemanasan global, saat ini iklim terus mengalami perubahan sehingga mempengaruhi pola curah hujan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi perubahan musim tanam, sehingga menyebabkan penurunan hasil panen (Anonim, 2007). Cabai termasuk tanaman yang mengalami kerusakan akibat perubahan iklim yang ekstrim. Akibatnya, terjadi penurunan produksi yang cukup signifikan sehingga kenaikan harga tidak dapat dihindarkan. Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia (Herlina, 2010). Salah satu jenis cabai yang banyak digemari adalah cabai kecil biasa disebut cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Cabai dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Akan tetapi, tanaman cabai tidak tahan terhadap hujan, terutama pada waktu berbunga karena bungabunganya akan mudah gugur (Sunarjono, 2010). Mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu dengan curah hujan yang masih tinggi seperti yang terjadi beberapa bulan ini memang menyebabkan penurunan produksi cabai akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011 mencapai 50% (Anonim, 2010)
     
  DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN

I.  PENDAHULUAN

Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim adalah unsur utama dalam sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Las, 2007).
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia (Tim Sintesis Kebijakan, 2007).
Perubahan iklim yang telah menimbulkan beberapa bencana yang  memiliki kemungkinan untuk menjadi lebih buruk di masa mendatang. Dengan menggunakan asumsi kenaikan suhu di Indonesia antara 0,40 - 30 C di  tahun 2030 dan 0,90 - 4C di tahun 2070, terbukti bahwa perubahan iklim akibat memanasnya bumi secara negatif akan menurunkan produksi pertanian dan tingkat kesejahteraan antara     2,5 - 18 persen per tahun (Rahayu, 2007).
Beberapa penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim terhadap produksi pertanian. Pengaruh pada produksi pertanian dapat disebabkan paling tidak oleh pengaruhnya terhadap produktivitas tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi tanah. Iklim dan cuaca merupakan faktor penentu utama bagi pertumbuhan dan produktifitas tanaman pangan. Produktifitas pertanian berubah-ubah secara nyata dari tahun ke tahun. Perubahan drastis cuaca, lebih berpengaruh terhadap pertanian dibanding perubahan rata-rata. Tanaman sangat peka terhadap perubahan cuaca yang sifatnya sementara dan drastis. Perbedaan cuaca antar tahun lebih berpengaruh dibanding dengan perubahan iklim yang diproyeksikan (Munawar, 2010). Makalah ini akan membahas mengenai penyebab terjadinya perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produktifitas tanaman. 

II.  PENYABAB TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM

Perubahan iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi (Las, 2007).  IPCC  (2007) dalam Noordwijk (2008). telah memberikan  banyak bukti kuat secara ilmiah bahwa iklim global telah berubah pada tingkatan yang cukup besar sepanjang sejarah geologi. Perubahan tersebut terjadi karena adanya peningkatan  konsentrasi  gas  rumah  kaca  (GRK)  di  atmosfer, terutama tersusun dari gas-gas CO2, CH4 dan N2O.
Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida (CO2). Sebagian dari karbon dioksida ini dapat diserap kembali, antara lain melalui proses fotosintesis yang merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman atau pohon. Namun, kini kebanyakan negara memproduksi karbon dioksida secara jauh lebih cepat ketimbang kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga konsentrasinya di atmosfer meningkat secara bertahap. Ada beberapa gas rumah kaca yang lain. Salah satunya adalah metan (CH4), yang dapat dihasilkan dari lahan rawa dan sawah serta dari tumpukan sampah dan kotoran ternak. Gas-gas rumah kaca lainnya, meski jumlahnya lebih sedikit, antara lain adalah nitrogen oksida (N2O) dan sulfur heksaflorida (SF6) (United Nations Development Programme Indonesia, 2007).
Beberapa jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4, dan N2O mempengaruhi iklim permukaan bumi karena kemampuanya dalam membantu proses transmisi radiasi dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Kalau konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang keluar dari permukaan bumi akan terhambat, sehingga suhu permukaan bumi bertambah besar. Prediksi peningkatan suhu bumi bukanlah suatu hal yang mudah iklim di suatu daerah merupakan hasil interaksi dari proses-proses fisika dan mekanik yang saling berhubungan. Peningkatan suhu, akan menyebabkan peningkatan evapotranspirasi yang berdampak pada meningkatnya konsentrasi. Apabila konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang berupa uap air, H2O(gas).  Uap air juga merupakan gas penghambat keluarnya radiasi dari permukaan bumi, sementara di lain pihak keberadaan uap air tersebut juga menimbulkan umpan balik negatif karena peningkatan pertumbuhan awan, menyebabkan terhambatnya transmisi radiasi matahari ke permukaan bumi(Syarifuddin, 2011).
Aktifitas-aktifitas yang menghasilkan GRK adalah perindustrian, penyediaan energi listrik, dan transportasi. Sedangkan dari peristiwa secara alam juga menghasilkan/ mengeluarkan GRK seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, peternakan hingga kita bernafaspun mengeluarkan GRK. Komposisi dan konsentrasi gas rumah kaca yang berada di lapisan atmosfer akan sangat bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia dalam merekayasa sistem tatanan ekologi di planet ini (Hamid, 2009).
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengklasifikasi enam jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan atmosfer yaitu Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2), Metana (CH4), Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). Gas karbondioksida (CO2), dinitrooksida (NO2) dan metana (CH4) terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana (CH4) juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk gas sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon (HFCs) dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol (partikel kecil/debu) (Hamid, 2009).

III.    DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN

Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (1) naiknya suhu udara yang juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan, (3) makin meningkatnya intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (4) naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara. (Direktorat Pengelolaan Air, 2009).

1. Dampak Peningkatan Konsentrasi CO2 di Atmosfer.

Gas CO2 merupakan sumber karbon utama bagi pertumbuhan tanaman. Konsentrasi CO2 di atmosfir saat ini belum optimal, sehingga penambahan CO2 kepada tanaman di dalam industri pertanian di dalam rumah kaca merupakan kegiatan normal untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti tomat, selada, timun dan bunga potong.
Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah meningkatnya laju assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk membentuk karbohidrat,fotosintesis) di dalam daun. Efisiensi penggunaan faktor-faktor pertumbuhan lainnya (seperti radiasi matahari, air dan nutrisi) juga akan ikut meningkat.
Selain pengaruh positif terhadap proses fotosintesis, kenaikan CO2 juga akan mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman. Stomata mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang masuknya CO2 dan keluarnya uap air ke/dari daun. Besar kecilnya pembukaan stomata merupakan regulasi terpenting yang dilakukan oleh tanaman, dimana tanaman berusaha memasukkan CO2 sebanyak mungkin tetapi dengan mengeluarkan H2O sesedikit mungkin, untuk mencapai effisiensi pertumbuhan yang tinggi. Jika CO2 di atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk mencapai konsentrasi CO2 optimum di dalam daun, sehingga laju pengeluaran H2O dapat dikurangi. Dengan kondisi tersebut maka laju pembentukan biomassa akan meningkat (Syarifuddin, 2011).
Efek langsung dari meningkatnya CO2, berdampak positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebagaimana dijelaskan diatas. Akan tetapi dampak pengikutan berupa peningkatan suhu dan perubahan siklus hidrologi menyebabkan pengaruh positif dari kenaikan CO2 menjadi berkurang atau terhambat sama sekali (Munawar, 2010)
.  Kebutuhan utama tanaman adalah air, baik secara kualitas maupun kuantitas. Air kini telah menjadi permasalahan penting bagi lima negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia (China, India, USA, Sovyet, Indonesia). Juga tentu dinegara-negara temur tengah, afrika utara dan sub sahara. Satu faktor penting yang berpengaruh terhadap produksi tanaman namun masih merupakan misteri adalah pola musim kering yang terjadi. Kekeringan adalah hal yang paling ditakuti oleh para petani diberbagai negara produsen pangan. Kebutuhan akan air menjadi semakin penting dan kritis, di USA, 80–85 % konsumsi air bersih adalah untuk pertanian. Sepertiga persediaan tanaman pangan sekarang tumbuh padi 18% lahan beririgasi.
Aspek penting dari peningkatan kadar CO2 dalam atmosfir adalah kecenderungan tanaman untuk menutup sebagian dari stomata pada daunnya. Dengan tertutupnya stomata ini penguapan air akan menjadi perkurang, dan dengan itu berarti efisiensi penggunaan air meningkat. Kekurangan air adalah faktor pembatas utama dari produktifitas tanaman. Bukti yang selama ini dikumpulkan menunjukan bahwa peningkatan CO2 di atmosfir meningkatkan efisiensi penggunaan air. Hal ini adalah penemuan yang penting bagi bidang pertanian dan juga bagi ekologi. Implikasi dari hal itu bermacam-macam, salah satunya adalah peningkatan daya tahan terhadap kekeringan dan berkurangnya kebutuhan air untuk pertanian.
Efek langsung dari kadar CO2 dalam atmosfir terhadap fotosintesis tanaman C4 adalah meningkatkan efisiensi air dalam fotosintesa. Dan pada tanaman C4 dan C3 mengurangi membukanya stomata, hal ini ditunjukan oleh Roger et al. pada tanaman kedelai. Tanaman dengan cara fotosintesa C3 mendapat keuntungan dengan 3 cara. Pertama meluasnya ukuran daun, kedua peningkatan tingkat fotosintesis perunit luas daun, dan terakhir efisiensi penggunaan air.
Pertumbuhan dan Produkstifitas Tanaman: Kemampuan Adaptasi terhadap Suberdaya Iklim di Bumi
.
Banyak tanaman pangan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Di bumi padi, ubikayu, ubijalar dan jagung dapat tumbuh dimana saja kelembaban dan suhu sesuai. Jagung mampu tumbuh di areal yang beraneka ragam kelembaban, suhu, dan ketinggian dibumi ini. Areal produksinya di USA telah meluas ke utara sampai 800 km selam lima puluh tahun ini. Kedelai dan Kacang tanah dapat tumbuh di daerah tropik sampai lintang 450 LU dan 400 LS. Gandum musim dingin yang lebih produktif dari gandum musim semi areal tanamnya telah meluas keutara sejauh 360 km. Ditambah dengan kemampuan rekayasa genetik yang kita miliki perluasan areal tanam akan semakin mungkin dan cepat terealisasi.


2.  Naiknya Suhu Udara yang Juga Berdampak Terhadap Unsur Iklim Lain.

Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang diterima di permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk tanaman, kandungan lengas tanah. Umumnya laju metabolisme makhluk hidup akan bertambah dengan meningkatnya suhu hingga titik optimum tertentu. Beberapa proses metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia, menurunnya aktifitas enzim (enzim terdegradasi)
Pengaruh peningkatan suhu dapat mengurangi atau bahkan mengurangi dampak positif yang diberikan dari meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir. Peningkatan suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat hilangnya kandungan lengas tanah (kadar air tanah) akibat evaporasi. Hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pada daerah yang lengas tanahnya terbatas.
Setiap tanaman memiliki suhu dasar yang merupakan suhu minimum bagi tanaman untuk bermetabolisme. Besaran suhu dasar ini akan mempengaruhi besarnya Thermal unit yang diperlukan oleh tanaman untuk melewati setiap fase perkembangannya. Hubungan antara thermal unit dengan suhu lingkungan adalah berbanding lurus sementara berbanding terbalik dengan umur tanaman. Artinya semakin tinggi suhu, maka umur tanaman akan semakin pendek yang akhirnya berdampak pada waktu penumpukan fotosintat dan pembentukan biomassa yang lebih rendah (Syarifuddin, 2011).
Dampak peningkatan suhu terhadap tanaman pangan  menurut Las (2007) adalah terjadinya peningkatan transpirasi yang menurunkan produktivitas, peningkatan konsumsi air,  percepatan pematangan buah/biji yang menurunkan  mutu hasil, dan perkembangan beberapa organisme pengganggu tanaman.  Bahkan  dirjen  IRRI  (International  Rice Researh Institute) menyatakan bahwa dengan peningkatan suhu udara rata-rata 1°C dapat menurunkan produktivitas  beras dunia sekitar  5-10 %.
Peningkatan temperatur dapat menyebabkan penurunan produksi pada berbagai jenis tanaman pangan, Menurut Tang et al., (2006) dan Weerakoon et al., (2008), Pada tanaman padi, fase pembentukan malai sangat sensitif terhadap temperatur tinggi. Selama tahap ini, stress akibat panas sangat memungkinkan untuk terjadinya sterilitas floret, menurunnya kesuburan dan kehilangan hasil. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya aktifitas serta perkecambahan polen, terbatasnya pertumbuhan tabung polen, rendahnya daya dehiscence polen dan penyerbukan yang tidak sempurna.   
Di samping itu temperatur juga secara langsung berperan terhadap perkembangan biji seperti pengisian biji dan laju produksi bahan kering pada biji (Kobata dan Uemuki, 2004) Temperatur tinggi dapat menghambat perkembangan biji pada padi (Zakaria  et al., 2002) gandum (Hawker dan Jenner, 1993).
Peningkatan temperatur selama kemasakan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas biji terutama yang diakibatkan oleh terhambatnya akumulasi cadangan makanan pada biji (Zakaria, 2005). Munculnya bagian “putih buram” yang biasanya di dapatkan pada bagian gabah yang kurang sempurna pada musim panas diperkirakan mempunyai hubungan yang erat dengan sistem transfer dan transportasi cadangan makanan selama pembentukan biji. Bagian putih buram ini adalah bagian dari kerusakan yang disebabkan oleh temperatur tinggi selama kemasakan.

3. Berubahnya Pola Curah Hujan.

Perubahan iklim juga  menyebabkan  terjadinya perubahan  jumlah hujan  dan  pola  hujan  yang  mengakibatkan  pergeseran  awal  musim  dan  periode  masa tanam. Penurunan  curah  hujan telah menurunkan potensi satu periode masa tanam  padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Dampak  perubahan  pola  hujan  diantaranya mempengaruhi waktu dan musim tanam, pola tanam, degradasi lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas areal tanam dan areal panen, serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman hayati. 

4. Naiknya Permukaan Air Laut.

Dampak  naiknya muka  air  laut  di  sektor  pertanian  terutama  adalah  penciutan  lahan  pertanian  di  pesisir pantai,  kerusakan  infrastruktur  pertanian,  dan  peningkatan  salinitas  yang  merusak tanaman  (Las, 2007).
Selain akan menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan permukaan air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar pantai. Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu fisiologis dan fisik pada tanaman, kecuali tumbuhan laut dan pantai atau varietas adaptif. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis dan hamparan pantai yang sangat panjang, sehingga penciutan lahan pertanian akibat peningkatan permukaan air laut menjadi sangat luas (Direktorat Pengelolaan Air, 2009).
Pengaruh garam terlarut terhadap tanaman adalah melalui osmotik karena konsentrasi garam yang tinggi menyulitkan tanaman menyerab air. Akar tanaman memiliki membran semi permeabel yang melalukan air tapi tidak dapat melewatkan hampir semua garam terlarut. Jadi air secara osmotik semakin sulit diperoleh tanaman dengan semakin meningkatnya kadar garam larutan tanah. Tanaman yang tumbuh pada media salin pada tingkat tertentu dapat meningkatkan kosentrasi osmotik internalnya melalui produksi asam-asam organik atau peningkatan serapan garam. Proses ini disebut sebagai penyesuaian osmotik (osmotic adjusment). Pengaruh salinitas terhadap tanaman nampaknya berupa perubahan energi dari proses pertumbuhan menjadi untuk mempertahankan perbedaan osmotik. Salah satu proses pertama adalah deversi energi pertumbuhan untuk perpanjangan sel. Jadi, untuk dapat mempertahankan perbedaan osmotik, sel jaringan daun membelah tetapi tidak menyebabkan pemanjangan. Gejala terjadinya pertambahan jumlah sel tapi tidak diikuti dengan perpanjangan sel dikarenakan adanya stres osmotik ini adalah terjadinya warna daun yang menjadi hijau gelap (Anwar dan Sudadi, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, S., Sudadi, U. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Bey, A., H. Pawitan, I. Las, B. Tjasyono, and F. Winarso. 1992. Evaluation of Indonesian  climate  and anticipation of  dry  season.  Prosiding  Seminar Nasional  Antisipasi  Iklim  1992  dan Dampaknya  terhadap  Pertanian Tanaman  Pangan.  PERHIMPI- Badan Litbang Pertanian.

Boer, R. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.

Direktorat Pengelolaan Air. 2009. Pedoman Umum Sekolah Lapang Iklim. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian.http://pla.deptan.go.id/pdf/11_PEDUM_SL_IKLIM.pdf. [Diakses 15 Januari 2012].

Hamid, H. 2009. Recovery Konservasi dan Rehabilitasi Tumbuhan Sebagai Strategi Mitigasi Global Warming. http://zaifbio.wordpress.com/2009/07/07/recovery-konservasi-dan-rehabilitasi-tumbuhan-sebagai-strategi-mitigasi-global-warming/. [Diakses 16 Januari 2012]. 

Hawker, J.S., and Jenner, D.F. 1993. High temperature affects the activity of enzymes in committed pathways of starch synthesis in developing wheat endosperm. Aust. J. Plant  Physiol. 20:197-209.

Jasis dan Karama, A. S.  1998.  Kebijakan Departemen Pertanian Dalam Mengantisipasi Penyimpangan Iklim.  Prosiding Stategi Antisipatif Menghadapi Gejala Alam La Nina dan El-Nino.  Kerjasama PERHIMPI dengan Jurusan GEOMET-IPB Puslittanak dan ICSEA.

Kobata, T. and Uemuki N. 2004. High tempetures during the grain-filling period do not  reduce the potential grain dry matter increase of rice. Agron. J. 96:406-414.

Las, I. 2007. Pembingkaian Diskusi Panel dan Penelitian Konsorsium Perubahan Iklim. Presentasi Round Table Discussion. Tim  Pokja  Anomali  Iklim. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Las, I. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim (bagian 1). Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. http://www.litbang.deptan. go.id/artikel/one/186/pdf/Strategi%20dan%20Inovasi%20Antisipasi%20Perubahan%20Iklim%20(bagian%201).pdf. [Diakses 15 Januari 2012]. 
Munawar, M. 2010. Pengaruh Efek Rumah Kaca Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman. http://munawar.8m.net/rmh_kaca.htm[Diakses 16 Januari 2012].

Noordwijk, M. V. 2008. Agroforestri Sebagai Solusi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global: Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan Dan Fleksibel Terhadap Berbagai Perubahan. World Agrofo restry Centre, ICRAF-Southeast Asia. Bogor.

No comments:

Post a Comment