Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca
berdasarkan waktu yang panjang untuk suatu lokasi di bumi atau planet lain.
Studi tentang iklim dipelajari dalam klimatologi. Iklim di
suatu tempat di bumi dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi tempat
tersebut.
Dunia pertanian selama ini tidak bisa dipisahkan
dengan cuaca dan iklim. Namun, akibat efek pemanasan global, saat ini iklim
terus mengalami perubahan sehingga mempengaruhi pola curah hujan. Kondisi
tersebut sangat mempengaruhi perubahan musim tanam, sehingga menyebabkan
penurunan hasil panen (Anonim, 2007). Cabai termasuk tanaman yang mengalami
kerusakan akibat perubahan iklim yang ekstrim. Akibatnya, terjadi penurunan
produksi yang cukup signifikan sehingga kenaikan harga tidak dapat dihindarkan.
Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
ekonomi penting di Indonesia (Herlina, 2010). Salah satu jenis cabai yang
banyak digemari adalah cabai kecil biasa disebut cabai rawit (Capsicum
frutescens L.). Cabai dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun dataran
rendah. Akan tetapi, tanaman cabai tidak tahan terhadap hujan, terutama pada
waktu berbunga karena bungabunganya akan mudah gugur (Sunarjono, 2010).
Mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu dengan curah hujan yang masih tinggi
seperti yang terjadi beberapa bulan ini memang menyebabkan penurunan produksi
cabai akhir tahun 2010 hingga awal tahun 2011 mencapai 50% (Anonim, 2010)
DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
I.
PENDAHULUAN
Perubahan
iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi. Mengingat iklim
adalah unsur utama dalam sistem
metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim global akan berdampak
buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Las, 2007).
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah katulistiwa termasuk wilayah
yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan,
kenaikan muka air laut, dan suhu udara, serta peningkatan kejadian iklim
ekstrim berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan
iklim yang dihadapi Indonesia (Tim Sintesis Kebijakan, 2007).
Perubahan
iklim yang telah menimbulkan beberapa bencana yang memiliki kemungkinan
untuk menjadi lebih buruk di masa mendatang. Dengan menggunakan asumsi kenaikan
suhu di Indonesia antara 0,40 - 30 C di
tahun 2030 dan 0,90 - 40 C di tahun 2070,
terbukti bahwa perubahan iklim akibat memanasnya bumi secara negatif akan
menurunkan produksi pertanian dan tingkat kesejahteraan
antara 2,5 - 18 persen per tahun (Rahayu, 2007).
Beberapa
penemuan terakhir mulai memperjelas pengaruh iklim terhadap produksi pertanian.
Pengaruh pada produksi pertanian dapat disebabkan paling tidak oleh pengaruhnya
terhadap produktivitas tanaman, organisme pengganggu tanaman, dan kondisi
tanah. Iklim dan cuaca merupakan faktor penentu utama bagi pertumbuhan dan
produktifitas tanaman pangan. Produktifitas pertanian berubah-ubah secara
nyata dari tahun ke tahun. Perubahan drastis cuaca, lebih berpengaruh terhadap
pertanian dibanding perubahan rata-rata. Tanaman sangat peka terhadap perubahan
cuaca yang sifatnya sementara dan drastis. Perbedaan cuaca antar tahun lebih
berpengaruh dibanding dengan perubahan iklim yang diproyeksikan (Munawar,
2010). Makalah ini akan membahas mengenai penyebab terjadinya perubahan
iklim dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan produktifitas tanaman.
II.
PENYABAB TERJADINYA PERUBAHAN IKLIM
Perubahan
iklim global disebabkan antara lain oleh peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
akibat berbagai aktivitas yang mendorong peningkatan suhu bumi (Las, 2007).
IPCC (2007) dalam Noordwijk (2008). telah memberikan banyak
bukti kuat secara ilmiah bahwa iklim global telah berubah pada tingkatan yang
cukup besar sepanjang sejarah geologi. Perubahan tersebut terjadi karena adanya
peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfer, terutama tersusun dari gas-gas CO2,
CH4 dan N2O.
Gas rumah
kaca utama yang terus meningkat adalah karbon dioksida (CO2).
Sebagian dari karbon dioksida ini dapat diserap kembali, antara lain melalui
proses fotosintesis yang merupakan bagian dari proses pertumbuhan tanaman atau
pohon. Namun, kini kebanyakan negara memproduksi karbon dioksida secara jauh
lebih cepat ketimbang kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga
konsentrasinya di atmosfer meningkat secara bertahap. Ada beberapa gas rumah
kaca yang lain. Salah satunya adalah metan (CH4), yang dapat
dihasilkan dari lahan rawa dan sawah serta dari tumpukan sampah dan kotoran
ternak. Gas-gas rumah kaca lainnya, meski jumlahnya lebih sedikit, antara lain adalah nitrogen oksida (N2O)
dan sulfur heksaflorida (SF6) (United Nations Development Programme
Indonesia, 2007).
Beberapa
jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4, dan N2O mempengaruhi
iklim permukaan bumi karena kemampuanya dalam membantu proses transmisi radiasi
dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat keluarnya sebagian radiasi
dari permukaan bumi. Kalau konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir meningkat,
radiasi yang keluar dari permukaan bumi akan terhambat, sehingga suhu permukaan
bumi bertambah besar. Prediksi peningkatan suhu bumi bukanlah suatu hal
yang mudah iklim di suatu daerah merupakan hasil interaksi dari proses-proses
fisika dan mekanik yang saling berhubungan. Peningkatan suhu, akan menyebabkan
peningkatan evapotranspirasi yang berdampak pada meningkatnya
konsentrasi. Apabila konsentrasi dari gas-gas ini di atmosfir
meningkat, radiasi yang berupa uap air, H2O(gas).
Uap air juga merupakan gas penghambat keluarnya radiasi dari permukaan bumi,
sementara di lain pihak keberadaan uap air tersebut juga menimbulkan umpan
balik negatif karena peningkatan pertumbuhan awan, menyebabkan terhambatnya
transmisi radiasi matahari ke permukaan bumi(Syarifuddin, 2011).
Aktifitas-aktifitas
yang menghasilkan GRK adalah perindustrian, penyediaan energi listrik, dan
transportasi. Sedangkan dari peristiwa secara alam juga menghasilkan/
mengeluarkan GRK seperti dari letusan gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran
hutan, peternakan hingga kita bernafaspun mengeluarkan GRK. Komposisi dan
konsentrasi gas rumah kaca yang berada di lapisan atmosfer akan sangat
bergantung dari gas-gas emisi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia dalam
merekayasa sistem tatanan ekologi di planet ini (Hamid, 2009).
United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengklasifikasi enam
jenis gas yang dapat menyerap radiasi matahari di lapisan atmosfer yaitu
Karbondioksida (CO2), Dinitroksida (NO2), Metana (CH4),
Sulfurheksaflorida (SF6), Perfluorokarbon (PFCs) dan
hidrofluorokarbon (HFCs). Gas karbondioksida (CO2), dinitrooksida (NO2)
dan metana (CH4) terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar
fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Gas metana (CH4)
juga dihasilkan dari kegiatan pertanian dan peternakan. Sementara untuk gas
sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs) dan hidroflorokarbon
(HFCs) dihasilkan dari industri pendingin dan penggunaan aerosol (partikel
kecil/debu) (Hamid, 2009).
III. DAMPAK
PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN
Perubahan
iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam
yang sangat erat kaitannya dengan pertanian, yaitu: (1) naiknya suhu udara yang
juga berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika
atmosfer, (2) berubahnya pola curah hujan, (3) makin meningkatnya intensitas
kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (4)
naiknya permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara.
(Direktorat Pengelolaan Air, 2009).
1.
Dampak Peningkatan Konsentrasi CO2 di Atmosfer.
Gas CO2 merupakan
sumber karbon utama bagi pertumbuhan tanaman. Konsentrasi CO2 di
atmosfir saat ini belum optimal, sehingga penambahan CO2 kepada
tanaman di dalam industri pertanian di dalam rumah kaca merupakan kegiatan
normal untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti tomat, selada, timun dan
bunga potong.
Pengaruh
fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah meningkatnya laju
assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk membentuk
karbohidrat,fotosintesis) di dalam daun. Efisiensi penggunaan faktor-faktor
pertumbuhan lainnya (seperti radiasi matahari, air dan nutrisi) juga akan ikut
meningkat.
Selain
pengaruh positif terhadap proses fotosintesis, kenaikan CO2 juga
akan mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman. Stomata
mempunyai fungsi sebagai pintu gerbang masuknya CO2 dan
keluarnya uap air ke/dari daun. Besar kecilnya pembukaan stomata merupakan
regulasi terpenting yang dilakukan oleh tanaman, dimana tanaman berusaha
memasukkan CO2 sebanyak mungkin tetapi dengan mengeluarkan H2O
sesedikit mungkin, untuk mencapai effisiensi pertumbuhan yang tinggi. Jika CO2 di
atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan stomata maksimum untuk
mencapai konsentrasi CO2 optimum di dalam daun, sehingga laju
pengeluaran H2O dapat dikurangi. Dengan kondisi tersebut maka laju
pembentukan biomassa akan meningkat (Syarifuddin, 2011).
Efek langsung
dari meningkatnya CO2, berdampak positif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, sebagaimana dijelaskan diatas. Akan tetapi dampak
pengikutan berupa peningkatan suhu dan perubahan siklus hidrologi menyebabkan
pengaruh positif dari kenaikan CO2 menjadi berkurang atau
terhambat sama sekali (Munawar, 2010)
. Kebutuhan utama tanaman adalah air, baik secara kualitas maupun
kuantitas. Air kini telah menjadi permasalahan penting bagi lima negara dengan
jumlah penduduk terbesar di dunia (China, India, USA, Sovyet, Indonesia). Juga
tentu dinegara-negara temur tengah, afrika utara dan sub sahara. Satu faktor
penting yang berpengaruh terhadap produksi tanaman namun masih merupakan
misteri adalah pola musim kering yang terjadi. Kekeringan adalah hal yang
paling ditakuti oleh para petani diberbagai negara produsen pangan. Kebutuhan
akan air menjadi semakin penting dan kritis, di USA, 80–85 % konsumsi air
bersih adalah untuk pertanian. Sepertiga persediaan tanaman pangan sekarang
tumbuh padi 18% lahan beririgasi.
Aspek penting dari peningkatan kadar CO2
dalam atmosfir adalah kecenderungan tanaman untuk menutup sebagian dari stomata
pada daunnya. Dengan tertutupnya stomata ini penguapan air akan menjadi
perkurang, dan dengan itu berarti efisiensi penggunaan air meningkat.
Kekurangan air adalah faktor pembatas utama dari produktifitas tanaman. Bukti
yang selama ini dikumpulkan menunjukan bahwa peningkatan CO2 di atmosfir
meningkatkan efisiensi penggunaan air. Hal ini adalah penemuan yang penting bagi bidang
pertanian dan juga bagi ekologi. Implikasi dari hal itu bermacam-macam, salah satunya adalah peningkatan daya tahan
terhadap kekeringan dan berkurangnya kebutuhan air untuk pertanian.
Efek langsung dari kadar CO2 dalam
atmosfir terhadap fotosintesis tanaman C4 adalah meningkatkan efisiensi air
dalam fotosintesa. Dan pada tanaman C4 dan C3 mengurangi membukanya stomata,
hal ini ditunjukan oleh Roger et al. pada tanaman kedelai. Tanaman dengan cara
fotosintesa C3 mendapat keuntungan dengan 3 cara. Pertama meluasnya ukuran
daun, kedua peningkatan tingkat fotosintesis perunit luas daun, dan terakhir
efisiensi penggunaan air.
Pertumbuhan dan Produkstifitas Tanaman: Kemampuan Adaptasi terhadap Suberdaya
Iklim di Bumi.
Banyak tanaman pangan mampu beradaptasi
terhadap perubahan iklim. Di bumi padi, ubikayu, ubijalar dan jagung dapat
tumbuh dimana saja kelembaban dan suhu sesuai. Jagung mampu tumbuh di areal
yang beraneka ragam kelembaban, suhu, dan ketinggian dibumi ini. Areal
produksinya di USA telah meluas ke utara sampai 800 km selam lima puluh tahun
ini. Kedelai dan Kacang tanah dapat tumbuh di daerah tropik sampai lintang 450
LU dan 400 LS. Gandum musim dingin yang lebih produktif dari gandum musim semi
areal tanamnya telah meluas keutara sejauh 360 km. Ditambah dengan kemampuan
rekayasa genetik yang kita miliki perluasan areal tanam akan semakin mungkin
dan cepat terealisasi.
2.
Naiknya Suhu Udara yang Juga Berdampak Terhadap Unsur Iklim Lain.
Suhu
merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Suhu udara dipengaruhi oleh radiasi yang diterima di
permukaan bumi sementara tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman ditentukan
oleh radiasi matahari, kerapatan tanaman, distribusi cahaya dalam tajuk
tanaman, kandungan lengas tanah. Umumnya laju metabolisme makhluk hidup akan
bertambah dengan meningkatnya suhu hingga titik optimum tertentu. Beberapa
proses metabolisme tersebut antara lain bukaan stomata, laju transpirasi, laju
penyerapan air dan nutrisi, fotosintesis, dan respirasi. Setelah melewati titik
optimum, proses tersebut mulai dihambat: baik secara fisik maupun kimia,
menurunnya aktifitas enzim (enzim terdegradasi)
Pengaruh
peningkatan suhu dapat mengurangi atau bahkan mengurangi dampak positif yang
diberikan dari meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfir.
Peningkatan suhu disekitar iklim mikro tanaman akan menyebabkan cepat hilangnya
kandungan lengas tanah (kadar air tanah) akibat evaporasi. Hal tersebut dapat
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama pada
daerah yang lengas tanahnya terbatas.
Setiap
tanaman memiliki suhu dasar yang merupakan suhu minimum bagi tanaman untuk
bermetabolisme. Besaran suhu dasar ini akan mempengaruhi besarnya Thermal unit
yang diperlukan oleh tanaman untuk melewati setiap fase perkembangannya.
Hubungan antara thermal unit dengan suhu lingkungan adalah berbanding
lurus sementara berbanding terbalik dengan umur tanaman. Artinya semakin tinggi
suhu, maka umur tanaman akan semakin pendek yang akhirnya berdampak pada waktu
penumpukan fotosintat dan pembentukan biomassa yang lebih rendah (Syarifuddin,
2011).
Dampak
peningkatan suhu terhadap tanaman pangan menurut Las (2007) adalah
terjadinya peningkatan transpirasi yang menurunkan produktivitas, peningkatan
konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji yang menurunkan mutu
hasil, dan perkembangan beberapa organisme pengganggu tanaman.
Bahkan dirjen IRRI (International Rice Researh
Institute) menyatakan bahwa dengan peningkatan suhu udara rata-rata 1°C dapat
menurunkan produktivitas beras dunia sekitar 5-10 %.
Peningkatan
temperatur dapat menyebabkan penurunan produksi pada berbagai jenis tanaman
pangan, Menurut Tang et al., (2006) dan Weerakoon et
al., (2008), Pada tanaman padi, fase pembentukan malai sangat sensitif
terhadap temperatur tinggi. Selama tahap ini, stress akibat panas sangat
memungkinkan untuk terjadinya sterilitas floret, menurunnya kesuburan dan
kehilangan hasil. Hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya aktifitas serta
perkecambahan polen, terbatasnya pertumbuhan tabung polen, rendahnya daya dehiscence polen
dan penyerbukan yang tidak sempurna.
Di samping
itu temperatur juga secara langsung berperan terhadap perkembangan biji seperti
pengisian biji dan laju produksi bahan kering pada biji (Kobata dan Uemuki,
2004) Temperatur tinggi dapat menghambat perkembangan biji pada padi (Zakaria
et al., 2002) gandum (Hawker dan Jenner, 1993).
Peningkatan
temperatur selama kemasakan juga dapat menyebabkan penurunan kualitas biji
terutama yang diakibatkan oleh terhambatnya akumulasi cadangan makanan pada biji
(Zakaria, 2005). Munculnya bagian “putih buram” yang biasanya di dapatkan pada
bagian gabah yang kurang sempurna pada musim panas diperkirakan mempunyai
hubungan yang erat dengan sistem transfer dan transportasi cadangan makanan
selama pembentukan biji. Bagian putih buram ini adalah bagian dari kerusakan
yang disebabkan oleh temperatur tinggi selama kemasakan.
3.
Berubahnya Pola Curah Hujan.
Perubahan
iklim juga menyebabkan terjadinya perubahan jumlah
hujan dan pola hujan yang mengakibatkan pergeseran
awal musim dan periode masa tanam. Penurunan
curah hujan telah menurunkan potensi satu periode masa tanam padi
(Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007). Dampak perubahan pola
hujan diantaranya mempengaruhi waktu dan musim tanam, pola tanam, degradasi
lahan, kerusakan tanaman dan produktivitas, luas areal tanam dan areal panen,
serta perubahan dan kerusakan keanekaragaman hayati.
4. Naiknya
Permukaan Air Laut.
Dampak
naiknya muka air laut di sektor pertanian
terutama adalah penciutan lahan pertanian
di pesisir pantai, kerusakan infrastruktur
pertanian, dan peningkatan salinitas yang merusak
tanaman (Las, 2007).
Selain akan
menciutkan luas lahan pertanian akibat terendam air laut, peningkatan permukaan
air laut juga akan meningkatkan salinitas (kegaraman) tanah sekitar pantai.
Salinitas pada tanah bersifat racun bagi tanaman sehingga mengganggu fisiologis
dan fisik pada tanaman, kecuali tumbuhan laut dan pantai atau varietas adaptif.
Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat,
terutama Fe dan Al. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai garis
dan hamparan pantai yang sangat panjang, sehingga penciutan lahan pertanian
akibat peningkatan permukaan air laut menjadi sangat luas (Direktorat Pengelolaan
Air, 2009).
Pengaruh
garam terlarut terhadap tanaman adalah melalui osmotik karena konsentrasi garam
yang tinggi menyulitkan tanaman menyerab air. Akar tanaman memiliki membran
semi permeabel yang melalukan air tapi tidak dapat melewatkan hampir semua
garam terlarut. Jadi air secara osmotik semakin sulit diperoleh tanaman dengan
semakin meningkatnya kadar garam larutan tanah. Tanaman yang tumbuh pada media
salin pada tingkat tertentu dapat meningkatkan kosentrasi osmotik internalnya
melalui produksi asam-asam organik atau peningkatan serapan garam. Proses ini
disebut sebagai penyesuaian osmotik (osmotic adjusment). Pengaruh
salinitas terhadap tanaman nampaknya berupa perubahan energi dari proses
pertumbuhan menjadi untuk mempertahankan perbedaan osmotik. Salah satu proses
pertama adalah deversi energi pertumbuhan untuk perpanjangan sel. Jadi, untuk
dapat mempertahankan perbedaan osmotik, sel jaringan daun membelah tetapi tidak
menyebabkan pemanjangan. Gejala terjadinya pertambahan jumlah sel tapi tidak diikuti
dengan perpanjangan sel dikarenakan adanya stres osmotik ini adalah terjadinya
warna daun yang menjadi hijau gelap (Anwar dan Sudadi, 2007).
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, S.,
Sudadi, U. 2007. Kimia Tanah. Departemen Ilmu dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bey, A., H.
Pawitan, I. Las, B. Tjasyono, and F. Winarso. 1992. Evaluation of
Indonesian climate and anticipation of dry
season. Prosiding Seminar Nasional Antisipasi
Iklim 1992 dan Dampaknya terhadap Pertanian
Tanaman Pangan. PERHIMPI- Badan Litbang Pertanian.
Boer, R.
2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Jurusan Geofisika dan
Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.
Hamid, H.
2009. Recovery Konservasi dan Rehabilitasi Tumbuhan Sebagai Strategi Mitigasi
Global Warming.
http://zaifbio.wordpress.com/2009/07/07/recovery-konservasi-dan-rehabilitasi-tumbuhan-sebagai-strategi-mitigasi-global-warming/. [Diakses
16 Januari 2012].
Hawker, J.S.,
and Jenner, D.F. 1993. High temperature affects the activity of enzymes in
committed pathways of starch synthesis in developing wheat endosperm. Aust. J.
Plant Physiol. 20:197-209.
Jasis dan
Karama, A. S. 1998. Kebijakan Departemen Pertanian Dalam
Mengantisipasi Penyimpangan Iklim. Prosiding Stategi Antisipatif
Menghadapi Gejala Alam La Nina dan El-Nino. Kerjasama PERHIMPI dengan
Jurusan GEOMET-IPB Puslittanak dan ICSEA.
Kobata, T.
and Uemuki N. 2004. High tempetures during the grain-filling period do
not reduce the potential grain dry matter increase of rice. Agron. J.
96:406-414.
Las, I. 2007.
Pembingkaian Diskusi Panel dan Penelitian Konsorsium Perubahan Iklim.
Presentasi Round Table Discussion. Tim Pokja Anomali Iklim.
Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Las, I. 2007.
Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim (bagian 1). Kepala Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian.
http://www.litbang.deptan.
go.id/artikel/one/186/pdf/Strategi%20dan%20Inovasi%20Antisipasi%20Perubahan%20Iklim%20(bagian%201).pdf. [Diakses
15 Januari 2012].
Noordwijk, M.
V. 2008. Agroforestri Sebagai Solusi Mitigasi dan Adaptasi Pemanasan Global:
Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan Dan Fleksibel Terhadap Berbagai
Perubahan. World Agrofo restry Centre, ICRAF-Southeast Asia. Bogor.